Kamis, 31 Maret 2016

Cheng Beng Ziarah Kubur dan Perwujudan Rasa Bhakti kepada Leluhur

Cheng Beng, Ziarah Kubur, Sembahyang Kuburan Leluhur Tradisi Suku Tionghoa Indonesia dan Munurut Ajaran Buddha



Cheng Beng Ziarah Kubur dan Perwujudan Rasa Bhakti kepada Leluhur

Cheng Beng, Ziarah Kubur, Sembahyang Kuburan Leluhur Tradisi Suku Tionghoa Indonesia dan Munurut Ajaran Buddha


Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Aku akan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan mengadakan upacara setelah ayah dan ibu meninggal dunia. (Sigalovada Sutta)

Sukhā matteyyatā loke, atho petteyyatā sukhā’ti ”Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga kebahagiaan” (Dhammapada 332)


Hari Ceng Beng (Festival Ching Ming)

Hari Ceng Beng atau Qing Ming (Hanzi : 清明 / Hokkian : Ceng Beng). Hari Cengbeng sendiri adalah salah satu momen berkumpulnya keluarga etnis Tionghoa selain hari raya Imlek.

Ceng Beng adalah suatu hari ziarah tahunan bagi etnis Tionghoa. Hari Ceng Beng biasanya jatuh pada tanggal 5 April untuk setiap tahunnya. Warga Tionghoa biasanya akan datang ke makam kuburan orang tua atau leluhur untuk membersihkannya dan sekalian bersembahyang/pai di makam tersebut sambil membawa buah-buahan, kue-kue, makanan, serta karangan bunga.

Dalam budaya masyarakat Tionghoa, ada lima festival besar yang dirayakan dengan sukacita dan meriah. Setiap festival memiliki makna, ciri khas, maksud dan tujuan tersendiri. Di samping itu, setiap festival juga memiliki makanan khas tersendiri pula.

Secara Awam, masih banyak yang belum jelas bahwa sebenarnya mengapa Ceng Beng itu selalu jatuh pada 5 April setiap tahunnya, dan bukannya mengikuti penanggalan kalender Imlek. Dalam tradisi Tionghoa, ada 2 penanggalan yang menggunakan penanggalan masehi. Yakni Ceng Beng dan Tang Che/Festival musim dingin.

Cheng Beng di Indonesia selalu jatuh pada tanggal 3 – 4 dan 5 April setiap tahunnya, inipun penulis tidak mengetahui benar, mengapa harus selalu tepat pada tanggal 4 – 5 April saja? Mungkin karena menurut penghitungan penanggalan Im-lek, setiap empat kali dalam setahun hari raya Cen Beng ini akan jatuh pada tanggal 4 April.

Kelihatannya, kalender Tionghoa itu kalender bulan, tidak begitu halnya, karena ada faktor peredaran matahari di dalamnya, yaitu 24 posisi matahari. 1 posisi matahari adalah berjangka waktu 15 hari, ada 2 posisi matahari dalam 1 bulan. Posisi ini telah ada sejak zaman Huangdi (2697 SM, 4700 tahun lalu) didasarkan atas 12 cabang bumi yang diciptakan olehnya.

Penanggalan Tionghoa sendiri memperhitungkan peredaran matahari karena Tiongkok sejak dulu adalah negara agrikultur, mayoritas penduduk Tiongkok adalah petani dan petani harus menanam sesuai musim. Musim bergantung pada peredaran matahari, sehingga posisi matahari ditambahkan dalam kalender Tionghoa.

   
Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa, Adapun lima festival itu adalah:

1. Lipchun (mulai musim semi) tanggal 5 Februari 
★ Festival Musim Semi (Imlek), yang jatuh pada tanggal 1 bulan 1 (Cia Gwee) penanggalan Imlek;
Imlek memiliki makan khas Kue Keranjang,
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
 Festival Cheng Beng/ Festival Ching Ming (cerah dan terang), 15 hari setelah Chunhun, jatuh setiap tanggal 5 April menurut penanggalan Masehi; Festival tradisional Tiongkok dilaksanakan pada hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin (atau hari ke-15 pada hari persamaan panjang siang dan malam di musim semi), pada umumnya dirayakan pada tanggal 5 April atau 4 April di tahun kabisat (Wikipedia)
Cheng Beng memiliki makanan Ketupat Opor Ayam,
3. Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
★ Festival Musim Panas, jatuh setiap tanggal 5 bulan 5 (Go Gwee) menurut penanggalan Imlek; 
Musim Panas (Peh Cun, Indonesia) memiliki makan Bakcang dan Kue Cang,
4. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
★ Festival Musim Gugur, jatuh setiap tanggal 15 bulan 8 (Pe Gwee) menurut penanggalan Imlek;
Musim Gugur (Tiongchiu) memiliki makanan Kue Bulan,
5. Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).
Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.
★ Festival Musim Dingin, jatuh setiap tanggal 22 Desember menurut penanggalan Masehi.
Musim Dingin (Tangche) memiliki makanan Wedang Onde (Ciak Yi atau So I).


Dalam budaya masyarakat etnis Tionghoa, dalam setahun ada dua persembahyangan yang ditujukan bagi keluarga yang telah meninggal, yaitu:

Sembahyang bulan 3 yang dikenal Cheng Beng, dan Sembahyang di bulan 7 (Cit Gwee) yang dikenal Cioko atau Chau Tu. Apakah bedanya?

Sembahyang Cheng Beng adalah sembahyang yang ditujukan untuk keluarga yang telah meninggal yang masih dikenali, sedangkan sembahyang Cit Gwee atau Cioko lebih bertujuan ditujukan kepada keluarga yang telah dilupakan (makhluk¬makhluk terlantar) oleh sanak keluarganya, yang terjadi karena keluarga mereka telah meninggal semua (generasinya habis) dan keluarga mereka telah meninggalkan agama leluhurnya, menganut agama baru yang tidak menekankan bhakti kepada leluhur.

Sebuah legenda asal mula Ceng Beng menceritakan tentang kaum/etnis Tionghoa yang memang punya tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya “kia hao” atau “filial piety”, alias “rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya”) . Makanya di rumah-rumah Tionghoa banyak ditemukan rumah abu atau meja sembahyang leluhur. Karena itulah, nyekar juga menjadi satu kegiatan wajib.
  

ChengBeng Ziarah Kubur Leluhur Tradisi Suku Tionghoa Indonesia Merupakan Tradisi Sembahyang Kepada Leluhur Orang Tua Yang Sudah Mendahului Kita. Cheng Beng Merupakan Kata Yang Berasal Dari Bahasa Hokkien Juga Merupakan Festival Qing Ming.

Cheng Beng Sendiri Merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah ke kuburan sesuai dengan ajaran Tao dan Khonghucu. Festival Cheng Beng tradisional Tiongkok ini jatuh pada hari ke 104 setelah titik balik Matahari pada musim dingin (atau hari ke 15 dari hari persamaan panjang siang dan malam pada musim semi), pada umumnya jatuh pada tanggal 5 April, dan setiap tahun kabisat, Qing Ming jatuh pada tanggal 4 April.
  

Asal Mula Cheng Beng
Tradisi ini berasal dari tradisi kerajaan di zaman dulu. Ceng Beng (baca : Qing Ming 清明節hanzi tradisional = cerah dan cemerlang) dipilih karena 15 hari setelah Chunhun, biasanya dipercayai merupakan hari yang baik, cerah, terkadang diiringi hujan gerimis dan cocok untuk melaksanakan ziarah makam. Sebelum zaman Dinasti Qin, ziarah makam hanya monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian meniru tradisi ziarah makam ini setiap Ceng Beng.

Qing Ming Jie 清明pinyin dalam dialek Hokian disebut Cheng Beng (bahasa Hokkian)Qing Ming Jie berarti langit sedang berwarna biru bersih dan terang benderang. Cheng Beng jatuh pada tanggal 5 April hingga 20 April. Dalam sejarah Tiongkok, Cheng Beng telah dimulai dari Warlord Period (475 – 221 SM), 2.400 tahun lalu.

Pada sekitar tanggal 5 April di daratan Tiongkok sudah mulai musim semi masuk ke musim panas. Udaranya nyaman, tidak dingin dan juga tidak panas. Seratus bunga bersemi, daun pohon Yangliu sedang bertunas, dan semua yang ada di muka bumi sedang tumbuh. Pada hari sebaik ini, semua keluarga keluar rumah untuk menikmati hari yang cerah tersebut.

Sembari menikmati udara yang segar ini, mereka juga membersihkan makam leluhur. Hingga sekarang Cheng Beng dijadikan momentum untuk melakukan bakti dengan sembahyang ke makam leluhur.

Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan Ceng Beng
Pada jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan.
Yang hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. 

Sudah masuk masa² CENGBENG. 
Sebagian etnis Tionghoa sudah mulai melakukan kegiatan bersih-bersih kubur leluhur dan orang tua.
Selain mencabuti rumput, perhatikan juga :

1. Apakah ada bagian-bagian tegel yang pecah?
2. Apakah ada bagian bongpay yang pecah atau warna tulisan sudah pudar? 

Jika sudah pudar, di cat/di tulisi kembali dengan tinta warna. Mohon dapat dibedakan penggunaan tinta warna merah dan emas.
3. Juga apakah warna cat tempat bakaran kertas dan altar TUTIGONG nya sudah pudar?

Segera perbaiki bagian makam yang pecah, rusak, atau luntur. Dari segi Fengshui, tentu sangat tidak baik apabila terdapat banyak pecah pada bagian tembok/tegel nya, apalagi sampai tumbuh tunas pohon di pinggirnya! Itu disebabkan karena kurangnya perhatian dari keluarga/ahli warisnya (bagi sebagian orang, ahli waris = beban seumur hidup), sudah sangat jarang menengok makam orang tuanya, bisa 3 tahun sekali baru datang ziarah.

   
Bersih-bersih Makam
Acara dimulai dengan membersihkan makam keluarga dari semak belukar, mengecat badan kuburan. Memberikan kertas kuning di tiga titik di atas nisan.

Pada saat Cheng Beng menjelang, 
masyarakat Tionghoa mendatangi makam keluarga mereka. Mereka datang untuk membersihkan makam-makam itu dari semak belukar, dari sinilah maka Cheng Beng berarti Bersih dan Terang, mengacu kepada makam leluhur yang dibersihkan.

Setelah makam bersih, mereka melakukan tradisi ”Teek Coa” dengan ”Ko¬Coa,” yaitu melempar emas atau perak (Gin Cua/Kim Cua) yang di beri dengan segumpal tanah kertas untuk menandai makam keluarga mereka.

Ada banyak cerita berkenaan dengan latar belakang munculnya tradisi Cheng Beng, yang pada intinya semua cerita ini mengajarkan kepada kita untuk memiliki bakti kepada kedua orang tua kita dan para leluhur. Mengingat jasa¬jasa mereka amat sangat besar kepada kita, anak¬anaknya.

Dalam Sigalovada Sutta, kita bisa juga melihat begitu besarnya jasa orang tua kepada anak¬anaknya. Mereka telah mencegah anaknya dari tindakan jahat, mendorong anaknya berbuat kebajikan, memberi anaknya pendidikan dan keterampilan, mencarikan pasangan, dan menyerahkan warisan ketika saatnya tiba.

Tidak berlebihan kalau dalam Aguttara Nikāya, Sang Buddha mengumpamakan ayah dan ibu laksana dewa, dewa tingkat tinggi, yaitu Brahma, dengan ungkapan, ”Brahma ti matapitaro”. Dalam sutta ini, Beliau pun menjelaskan bahwa orang tua, ayah dan ibu sebagai Pubba¬achariya, guru awal, guru pertama bagi anak¬anaknya.

Dalam bagian lain dalam Kitab Aguttara Nikāya, Sang Buddha menyatakan; ”Saya nyatakan bahwa ada dua orang yang tak pernah bisa dibalas budinya. Siapakah keduanya itu? Ayah dan Ibu.”

”Walaupun seseorang menggendong ibunya di bahu kanan dan ayahnya di bahu kiri, dan saat melakukan ini ia hidup seratus tahun; jika ia melayani mereka dengan mengusapi mereka dengan minyak, memijat, memandikan, dan menguruti kaki dan tangan mereka, seandainya mereka buang air sekalipun, semua itu belumlah cukup yang dilakukannya terhadap orang tuanya, dan ia belum membalas budi mereka. Seandainya seorang anak menempatkan orang tuanya sebagai raja cakkavati yang memiliki tujuh harta, belum cukup juga yang ia lakukan kepada orang tuanya, ia belum membalas budi mereka. Mengapa demikian? Ayah dan ibu sungguh berjasa terhadap anak¬anaknya: mereka melahirkan, membesarkannya, memberinya makan, dan menunjukkan dunia kepada anaknya.”

”Namun, seseorang yang mendorong orang tuanya yang tidak punya keyakinan, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam keyakinan; seseorang yang mendorong orang tuanya yang tidak bermoral, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kemoralan; seseorang yang mendorong orang tuanya yang kikir, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kedermawanan; seseorang yang mendorong orang tuanya yang tersesat dalam kegelapan batin, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kebijaksanaan. Anak seperti ini telah melakukan yang cukup bagi orang tuanya; ia telah membalas budi mereka dan lebih dari membalas budi terhadap apa yang dilakukan orang tuanya kepadanya.

” Karena itulah, berbahagialah kita sebagai anak yang masih memiliki orang tua, kita masih memiliki kesempatan untuk membalas jasa mereka. Tetapi bagi kita yang sudah tidak lagi memiliki orang tua, tidak perlu bersedih, masih ada bakti yang dapat kita tunjukkan kepada mereka dengan pelimpahan jasa (pattidana).

Dari kutipan Sigalovada Sutta dan Angutara Nikaya tentunya kita sudah tau apakah tradisi Cheng beng sesuai dengan ajaran Buddha apa tidak…??? Kalo kita berbicara tentang ritualnya, kita sebagai umat Buddha harus mengupasnya dengan bijaksana

Dalam tradisi Cheng beng ada 2 jenis ritual yaitu :
1. Pai cho ( persembahan dengan daging² )
2. Pai Cheng ( persembahan dengan buah² an dan kue )

Untuk yang Pai Cho biasanya ada istilah Sam se, yaitu 3 jenis hewan, hewan yang hidup di darat, yang hidup di air dan yang hidup di udara hewan yang hidup di darat biasanya berupa hewan babi , yang di air seperti ikan , cumi dll, yang di udara hewan sejenis unggas yang bersayap sprt ayam, bebek dll….

Pada saat orang Tionghoa pergi bersembahyang di rumah maupun di kuburan leluhurnya, pada umumnya mereka membawa masakan yang sudah matang. Makanan yang disajikan semua makanan yang biasanya menjadi kesukaan almarhum dimasa hidupnya.

Sebagai umat Buddha lebih tepat merayakan Cheng Beng dengan pilihan ke 2 yaitu Pai Cheng karna dalam ajaran Buddha tidak menyarankan mengorbankan mahkluk lain untuk di persembahkan dan bila mengunakan poin pertama kita harus lah memperhatikan hal² yang patut, jangan membunuh mahkluk, beli daging siap saji atau kalengan

Dan ritual lainnya adalah persembahan peti kertas yang isinya berbagai jenis, ada sepatu kertas, baju kertas, batangan mas kertas dll dan juga pembakaran Kim Gin Cua yang uda di lipat sedemikian rupa……

Untuk ritual yang 1 ini sebagai umat Buddha boleh melakukannya boleh tidak, tapi kita juga harus bijaksana bila ada saudara yang masih melakukannya ya kita jangan menentang itu tidak baik dan mala akan membuat pertentangan, yang terpenting cara berpikir kita uda kita rubah, kalau pakaian kertas dan lain² itu gak akan bisa jadi apa² selain jadi abu bila dibakar, kita anggap saja itu bagian dari tradisi sama halnya dengan Ritual yang kita bahas sebelumnya….tidak bawa apa² juga gak apa², hanya dengan membakar 3 dupa atau hanya beranjali dan bernamaskara dan dengan niat memberi penghormatan kepada leluhur…atau bisa juga di bulan Cheng beng ini kita berdana ke Vihara², berdana ke Bhikkhu Sangha, panti Jompo, panti asuhan dll, dan kebajikannya kita limpahkan kepada para leluhur.

 
Fengshui Makam oleh Ahli Fengshui Luo Yiming
Sudah mau Cengbeng, tidak ada salahnya mengetahui sedikit Yin Fengshui (Fengshui kuburan). Berikut video rekaman Luis Luo Yiming, pakar Fengshui Malaysia tentang fengshui kuburan ini.


Sumber:
https://www.facebook.com/tionghoainfo/videos/1201287419935037/

 
Jangan lupa untuk membawa perlengkapan sembahyang, seperti lilin, hio/dupa, dan kertas perak untuk ditabur diatas makam. 

Lalu kenapa disetiap kubur, diatasnya disebarkan/diletakkan kertas perak atau kuning setiap kali selesai dibersihkan?

Konon menurut cerita rakyat, asal mula ziarah kubur atau Ceng Beng ini berawal dari zaman kekaisaran Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming (1368-1644 M). Zhu Yuanzhang awalnya berasal dari sebuah keluarga yang sangat miskin. Karena itu dalam membesarkan dan mendidik Zhu Yuanzhang, orangtuanya meminta bantuan kepada sebuah kuil. Ketika dewasa, Zhu Yuanzhang memutuskan untuk bergabung dengan pemberontakan Sorban Merah, sebuah kelompok pemberontakan anti Dinasti Yuan (Mongol).

Berkat kecakapannya, dalam waktu singkat ia telah mendapat posisi penting dalam kelompok tersebut; untuk kemudian menaklukkan Dinasti Yuan (1271-1368 M); sampai akhirnya Beliau menjadi seorang kaisar. Setelah menjadi kaisar, Zhu Yuanzhang kembali ke desa untuk menjumpai orangtuanya. Sesampainya di desa ternyata orangtuanya telah meninggal dunia dan tidak diketahui keberadaan makamnya.

Kemudian untuk mengetahui keberadaan makam orangtua nya, sebagai seorang kaisar, Zhu Yuan Zhang memberi titah kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan membersihkan makam leluhur mereka masing-masing pada hari yang telah ditentukan. Selain itu, diperintahkan juga untuk menaruh kertas kuning di atas masing-masing makam, sebagai tanda makam telah dibersihkan.

Setelah semua rakyat selesai berizarah, kaisar memeriksa makam-makam yang ada di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibesihkan serta tidak diberi tanda. Kemudian kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan berasumsi bahawa di antara makam-makam tersebut pastilah merupakan makam orangtua, sanak keluarga, dan leluhur nya. Hal ini kemudian dijadikan tradisi untuk setiap tahunnya.

Tujuan dari perayaan Ceng Beng ini sendiri adalah agar supaya semua kerabat dekat, saudara, anak-anak, bisa berkumpul bersama, agar hubungan semakin erat terjalin. Meski sudah berbeda agama atau kepercayaan, bukan berarti sudah tidak perlu datang untuk sekedar sungkem atau sekedar tengok ke makam orang tua. Itu salah besar! Ziarah ke kuburan orang tua tidak ada hubungannya dengan ‘memuja setan’. Semua bisa menyesuaikan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Ada yang berpendapat bahwa jika sudah masuk agama tertentu, sudah tidak perlu pai/sembahyang ataupun sekedar untuk datang ke kubur orang tua, karena akan dianggap berhala dsb. Mestinya harus diingat juga, bahwa tanpa orang tua, kita-kita ini yang masih hidup tidak mungkin bisa ada di dunia. Jadi, jangan lupakan orang tua kita. Luangkanlah waktu karena Ceng Beng hanya setahun sekali.

Ada yang berpendapat juga jika pegang hio/dupa tidak diperbolehkan bagi yang menganut agama tertentu. Hal ini tidak jadi masalah, bisa sungkem saja. Tapi menurut saya, jika masih menganggap diri sebagai orang Tionghoa, tentunya tidak masalah hanya untuk sekedar pegang hio. Janganlah terlalu fanatik. Bukankah di dunia ini tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk tidak menghormati orang tua masing-masing?

   
Ketika Cheng Beng
Kegiatan yang dilakukan adalah merawat altar leluhur, mengadakan acara sembahyang. Keluarga yang merawat altar leluhur adalah anak sulung, anak laki-laki pertama atau anak laki-laki yang diminta oleh orangtua untuk merawat altar leluhur, maka bisa disebut keluarga inti.

Keluarga inti ini akan menyiapkan kebutuhan utama untuk sembahyang di makam, seperti sesajian teh, arak, buah-buahan seperti pisang, nanas, anggur, apel, jeruk, kue mangkok, kue lapis, kue mutiara, bolu, aneka permen warna-warni, daging babi panggang asin dan merah, ayam rebus beserta jeroan, cumi sotong besar, sawi hijau utuh yang direbus, nasi, dan sayuran yang sudah dimasak, bunga warna-warni, lilin, kertas sembahyang, serta tidak ketinggalan baju, paspor, uang-uang kertas.

Sesaji di atas, dipercayai untuk mengundang pesta leluhur, di mana diyakini leluhur berada di alam bawah atau atas juga melakukan kegiatan yang sama persis dengan kita.

Menyiapkan sesaji dan menatanya dengan cantik, lilin dinyalakan dan sembahyang dimulai di altar dewa bumi.

Ketika lilin yang dinyalakan pada altar sudah mencapai setengah, ibu dari keluarga inti membawa dua keping logam yang sama bertanya dengan sujud kepada dewa bumi atau leluhur, apakah sudah berkenan dengan sesaji yang dipersembahkan dan melempar koin tersebut. Jika muka koin sama berarti masih belum selesai, muka koin berbeda berarti pesta sudah diterima dan usai.

Jika sudah Selesai Maka, mulailah keluarga akan membereskan sesaji yang diberikan, dan mulai membagi-bagikan makanan kepada sanak keluarga. Biasanya, mereka akan membuka bekal dan berkumpul di tempat berteduh untuk makan bersama, atau pergi ke restoran untuk beramah tamah.

Filosofi yang gak kurang penting dari perayaan Cheng Beng selain penghormatan kepada leluhur dan pelimpahan jasa, bagi yang hidup Cheng Beng juga bisa mempererat tali persaudaraan, karna kebiasaan suku Tionghua pada bulan Cheng Beng semua pada pulang kampung ( bagi yang merantau jauh ) di Medan klo bln Cheng Beng biasanya penginapan dan hotel Penuh semua.

Jadi bagi Umat yang masih sendiri² ke kuburan kui cua ”Teek Coa”, rubah la …ajak bersama², saudara² kita untuk bersama Kui cua, agar terjadi silaturami yang erat antar saudara dan generasi berikutnya dan tidak akan pernah putus tali persaudaraan…itu lah filosofi Cheng Beng yang sangat luar biasa.

   
Melaksanakan Sembahyang Cengbeng


Cengbeng adalah salah satu momen berkumpulnya sanak family

Yup! Ini adalah puncaknya. Momen berkumpul bersama keluarga besar saat Imlek terulang kembali; dan inilah inti dari rangkaian kegiatan persembahyangan Cengbeng sebenarnya. Selain itu, kita juga diingatkan pada jasa-jasa orang tua/leluhur yang telah mengasuh dan membesarkan kita sampai jadi orang saat ini. Ingatlah, tanpa mereka, kita tidak akan pernah ada. Jangan seperti jadi orang yang minum air namun lupa sumbernya!

Jangan sampai ada anggapan bahwa jika sudah beragama non Tionghoa maka sudah tidak perlu lagi ikut-ikutan sembahyang kubur, karena akan dianggap menyembah setan dan berhala. Anda-anda masih dapat ikut berpartisipasi dalam membersihkan makam, menyiapkan makanan; terlepas apakah nantinya anda akan menyantap makanan nya atau tidak (Fakta : sebagian orang sudah tidak mau lagi menyantap makanan bekas sembahnyang orang tuanya!), dan ikut sungkem pada saat sembahyang bersama dilakukan. Berdoalah menurut keyakinan Agama dan kepercayaan anda, itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan tanda bakti anda.

Banyak kejadian saat ini makam-makam Tionghoa sudah tidak terurus karena ahli waris/anak-anak ‘si empunya makam’ sudah enggan mengurusnya dengan alasan sangat sibuk dengan bisnisnya. Akibatnya makam ditumbuhi rumput dan tanaman liar yang merambat. Yang paling sial, si empunya makam tidak memiliki anak lelaki sebagai penerus marga dan penanggung ‘kewajiban’ keluarga (Fakta : dalam etnis Tionghoa, anak laki-laki sangat diprioritaskan dalam keluarga meski terlahir sebagai anak paling bontot bungsu).

Anak perempuan biasanya hanya akan ikut suaminya, dan syukur-syukur masih mengirimkan uang ‘santunan’. Jika tidak, maka kuburnya tinggal ditunggu saja kapan akan dibongkar pengelola makam (tidak tahu tulang belulangnya akan dikemanakan, bisa jadi hanya dibuang di got atau tempat sampah), atau ditimpali dengan makam baru (ini biasa terjadi di kompleks perkuburan yang sudah penuh sesak dan tidak ada lahan baru).

Tidak sedikit yang akhirnya menulis surat wasiat agar kelak nantinya dingaben kremasi saja ketimbang dikubur daripada kelak menjadi beban.


Kremasi wajib dilakukan di negara yang padat penduduknya


    
Jadi kesimpulannya adalah lakukan lah perayaan Cheng Beng dengan bijaksana dan dengan pengertian benar.



Bagi Umat Buddha bisa membacakan Paritta Suci secara Bersama² yang hadir pada saat Cheng Beng. Bersikap Anjali, yaitu merangkapkan tangan di depan dada. Boleh berdiri maupun duduk bersila atau Bersikap Namaskara, yaitu menghormati dengan cara bersujud, dengan sikap sempurna, anjali, (tangan dirangkapkan di depan dada, berlutut, duduk di atas tumit dan jari - jari kaki menopang berat badan) Lihat keadaan situasi dan sikap sesuai keinginan menurut anda yang terbaik.

Paritta Suci yang dibaca Lihat Daftar Paritta Suci "Upacara Kematian" pada uraian bagian B. ZIARAH DI MAKAM atau Bila ada waktu memungkinkan boleh Baca Paritta Suci lengkap pada uraian PERINGATAN KEMATIAN pada bagian A. PERINGATAN KEMATIAN: 3 HARI, 7 HARI, 49 HARI, 100 HARI, 1 TAHUN, DAN SEBAGAINYA.

Paritta Tata Cara dan UPACARA KEMATIAN

A. MEMBERSIHKAN JENAZAH

 Pubbabhāganamakāra/Vandanā
 Pasukulā Gāthā
 Mahā Jaya Magala Gāthā

   
B. MENJELANG DIBERANGKATKAN KE MAKAM/ KE KREMATORIUM

 Pubbabhāganamakāra/Vandanā
 Tisaraa
 PAÑCASĪLA (Lima Latihan Sīla) Bila almarhum/almarhumah Upa/Upi, Pandita
 Buddhānussati
 Dhammānussati
 Saghānussati
 Saccakiriyā Gāthā
 Pabbatopama Gāthā atau Dhammaniyāma Sutta
 Tilakkhaādi Gāthā
 Pasukulā Gāthā
(Dimulai dari: Aniccā vata . . . .)
 Samādhi/ Meditasi

Pandita/ Pemimpin Upacara:

Saudara-saudara seDhamma marilah kita memancarkan pikiran
cinta kasih kita pada almarhum/almarhumah: . . . . . . . . yang
telah mendahului kita . . . . . . . . hari/tahun yang lalu.
Semoga saudara kita almarhum/almarhumah dalam perjalanan
di alam kehidupan selanjutnya selalu mendapatkan ketenangan
dan kebahagiaan, hingga akhirnya tercapai Kebebasan Abadi (Nibbāna).
Semoga Sang Tiratana selalu melindunginya.

Samādhi/ Meditasi dimulai...

Pandita/ Pemimpin Upacara: (Pada akhir Samādhi)

Sabbe sattā bhavantu sukhitattā; atau
Sabbe sattā sadā hontu, averā sukhajīvino.

 Dhammadesanā (Khotbah Dhamma) pendek
 Ettāvatā
a. Ettāvatā, tiga kali (Devā, bhūtā, sattā)
b. Ida vo . . . . (tiga kali)
c. Ākāsaṭṭhā . . . .
Cira rakkhantu: saudara . . . . . (nama almarhum/ almarhumah).
d. Ākāsaṭṭhā . . . .
Cira rakkhantu: ma para ti.

   
C. DI MAKAM/DI KREMATORIUM

 Pubbabhāganamakāra/Vandanā
 Buddhānussati
 Dhammānussati
 Saghānussati
 Saccakiriyā Gāthā
 Pasukulā Gāthā
(Dimulai dari: Aniccā vata . . . .)

Pada waktu membacakan Aniccā vata . . . .
Pandita menabur bunga di atas peti jenazah.

 Sumagala Gāthā II

Catatan : Bila keadaan memungkinkan, bisa diberikan
khotbah Dhamma singkat.

D. BENTUK NISAN
Di makam, nisan berbentuk sebuah STUPA.

   
PERINGATAN KEMATIAN

A. PERINGATAN KEMATIAN: 3 HARI, 7 HARI, 49 HARI, 100 HARI, 1 TAHUN, DAN SEBAGAINYA

 Pubbabhāganamakāra/Vandanā
 Tisaraa
 PAÑCASĪLA (Lima Latihan Sīla) Bila almarhum/almarhumah Upa/Upi, Pandita
 Buddhānussati
 Dhammānussati
 Saghānussati
 Saccakiriyā Gāthā
 Karaīya Mettā Sutta
 Ariyadhana Gāthā
 Samādhi/ Meditasi

Pandita/ Pemimpin Upacara :
Saudara-saudara seDhamma marilah kita memancarkan pikiran
cinta kasih kita pada almarhum/almarhumah: . . . . . . . . yang
telah mendahului kita . . . . . . . . hari/tahun yang lalu.
Semoga saudara kita almarhum/almarhumah dalam perjalanan
di alam kehidupan selanjutnya selalu mendapatkan ketenangan
dan kebahagiaan, hingga akhirnya tercapai Kebebasan Abadi (Nibbāna).
Semoga Sang Tiratana selalu melindunginya.

Samādhi/ Meditasi dimulai...

Pandita/ Pemimpin Upacara : (Pada akhir Samādhi)

Sabbe sattā bhavantu sukhitattā; atau
Sabbe sattā sadā hontu, averā sukhajīvino.

 Dhammadesanā (Khotbah Dhamma) pendek
 PATTIDĀNA
 Ettāvatā
a. Ettāvatā, tiga kali (Devā, bhūtā, sattā)
b. Ida vo . . . . (tiga kali)
c. Ākāsaṭṭhā . . . .

Cira rakkhantu: saudara . . . . . . . . (nama almarhum/ almarhumah).

d. Ākāsaṭṭhā . . . .
Cira rakkhantu: ma para ti.

     
B. ZIARAH DI MAKAM

 Pubbabhāganamakāra/Vandanā
 Saccakiriyā Gāthā
 Ida vo . . . . (tiga kali)

Bila ada waktu memungkinkan boleh Baca Paritta Suci lengkap pada uraian PERINGATAN KEMATIAN pada bagian A. PERINGATAN KEMATIAN: 3 HARI, 7 HARI, 49 HARI, 100 HARI, 1 TAHUN, DAN SEBAGAINYA.
E-paritta Android
Untuk AmazinG !!! "Friends ~ Rekan" 

Telah Beredar E-paritta Android, Download di PC, Tablet dan Smartphone anda. 
Miliki Segera.!

Anda Pasti Untung, Rugi kalau tidak memiliki E-paritta Android.

Umat Buddha seDhamma, semoga informasi ini bermanfaat...
E-paritta Android: http://eparitta.googlecode.com/files/eParitta_5.apk

iOS: download "Pocket Paritta" di appstore
BlueStacks Android Package File (.apk)
Untuk agar Bisa Menjalankan di PC Donload dahulu dan Instal Program : http://www.bluestacks.com/

Program Ini bisa daftar BB di PC

 
Cheng Beng dan Ajaran Buddha

Generasi sekarang perlu memberikan penghormatan dengan memahami intisari dari tradisi dan adat yang diturunkan oleh leluhur kita. Bagaimana agama Buddha melihat tradisi ini?

“Cheng Beng merupakan salah satu bentuk bakti anak ke orangtua yang telah meninggal dan leluhur. Cheng Beng bukan hari raya agama Buddha, tetapi dalam agama Buddha, wujud bakti merupakan hal yang sangat penting, di antaranya kewajiban anak kepada orangtua setelah mereka meninggal dan menjaga kuburan,” ujar Bhiksu Sakya Sugata.

Menurut bhiksu yang akrab dipanggil Suhu Neng Xiu ini, cara kita mengenang mereka adalah dengan melakukan perbuatan baik kemudian melimpahkan jasa untuk mereka. Bakti anak kepada orangtua bukan hanya diwujudkan dengan membahagiakan orangtua saat masih hidup, namun juga setiap saat melimpahkan jasa kepada mereka, bukan hanya saat Cheng Beng. Jasa orangtua begitu besar, kita tidak mungkin membalasnya. Kita hanya bisa membalasnya sangat kecil. Itulah mengapa seumur hidup kita harus selalu mendoakan dan melimpahkan jasa kepada orangtua.

Suhu Neng Xiu berpesan, jangan memberikan persembahan dari hasil pembunuhan binatang, “Yang terpenting adalah jangan melakukan pembunuhan di bulan ini, karena kita yakin bahwa dengan upacara sembahyang kepada leluhur diharapkan bisa membawa leluhur terlahir di alam lebih baik. Tidak mungkin kita mengorbankan makhluk lain untuk mendoakan leluhur kita keluar dari penderitaan.”



A. Doa Sembahyang Ching Bing Untuk Arwah Umum :
Puji dan syukur kami naikkan, Thian, Tuhan Yang Maha Esa telah berkenan kami berhimpun bersama pada hari Ching Bing hari Gilang Gemilang yang suci ini, melaksanakan upacara pengenaan dan penghormatan bagi arwah para leluhur, orang tua maupun saudara kami yang telah mendahulu. Kami panjatkan do’a kiranya Thian berkenan menerimanya didalam cahaya kemuliaan kebajikan, sehingga damai dan tenteram yang abadi boleh besertanya.

Diperkenan pula kiranya kami naikkan hormat puji kepada yang kami hormati : Malaikat Bumi (Hok Tik Cing Sien) yang selalu menjadi perawat bagi kehidupan di semesta alam atau di atas dunia ini.
Dipermuliakanlah.

Kehadapan yang kami hormati Hok Tik Cing Sien, kami naikkan hormat atas segenap kasih dan perawatan yang telah diberikan atas kehidupan di bumi ini maupun bagi arwah para leluhur, orang tua maupun saudara kami yang telah mendahului itu.

Penghormatan ini kiranya menjadi pendorong bagi kami untuk selalu berperilaku luhur dan mulia sebagai yang Thian firmankan serta yang dilambangkan oleh nama yang kami hormati, bahwa kebahagiaan / Rakhmat (Hok) dan Kebajikan (Tik) adalah merupakan kesatuan, kemanunggalan yang tak terpisahkan.
Dipermuliakanlah.

B. Sembahyang Ching Bing untuk arwah leluhur :
Para arwah leluhur, orang tua dan saudara kami yang telah jauh, pada hari Ching Bing, hari yang gemilang dan suci ini, terimalah hormat kami. Kami kenangkan bersama masa – masa lampau para leluhur yang telah serta sebagai peletak dasar peradaban dan penerus kehidupan ini. Kami yakin, segala yang mulia itu telah terbit dari Kebajikan, berbuah dari pengorbanan dan pengabdian para leluhur.

Sungguh, ini patut dan wajib kami kenang, kami hayati dan kami suriteladani sehingga menjadi pedoman dan teguh didalam Iman menghadapi tantangan dan segenap kewajiban hidup kami.

Saat ini semuanya kami sajikan dengan setulus hati dan sepenuh Kebajikan akan persembahan pernyataan bakti kami. Semoga, semua ini, para leluhur berkenan menerima sebagai pernyataan hormat dan kenangan suci kami. Kami yakin, Thian telah berkenan tempat yang sentosa bagi para leluhur dan para yan telah mendahului kami.
Dipermuliakanlah.

   
“ Hati – hatilah pada saat orang tua meninggal dunia, janganlah lupa memperingati leluhur sekalipun yang telah jauh. Dengan demikian rakyat akan tebal kembali kebajikannya ”. (Lun Gi I : 9)

Adapun yang dinamai berbakti ialah
Dapat melanjutkan cita – cita mulia dan
Dapat mengikuti usaha mulia dari
Leluhurnya (Tiong Yong XVIII : 2)

Laku bakti kepada orang tua
Tidak melanggar kesusilaan :
“ Pada saat hidup layanilah sesuai dengan Kesusilaan’
Saat meninggal dunia makamkanlah
Sesuai dengan Kesusilaan dan
Sembayangilah sesuai dengan Kesusilaan “
(Lun Gi II : 5)


Selamat merayakan festival Cengbeng!


Mari Kita Bantu Sebarkan Sebanyak² nya atau Kirim keTeman -Teman Agar Banyak yang Tau, Mengerti dan Banyak yang Tersadarkan.

Link dan Share untuk Pencerahan yang Lain.
Semoga Bermanfaat untuk Kita semua Sobat.
Semoga Kita Selalu Sehat Wallafi'at.


_/l\_  Ǻηύσđªņă _/l\_

Sαββε Sᆆα βђαvαπ†u Sukђi†α††α”
สัพเพ สัต ตา ภะ วัน ตุ สุขิตัต ตา
Semoga semua makhluk berbahagia.”

สาธุ, สาธุ, สาธุ … ! Sādhu ..., Sādhu ..., Sādhu … !

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Festival_Qingming
http://siamamuletgallery.com/blog/sembahyang-kuburan-cheng-beng-menurut-ajaran-buddha/
http://buddhazine.com/cheng-beng-dan-perwujudan-rasa-bakti-kepada-leluhur/
http://asalusulbudayationghoa.blogspot.com/2010/04/ceng-beng.html
http://djonliem.blogspot.com/2016/03/cheng-beng-ziarah-kubur-dan-perwujudan.html

http://www.tionghoa.info/hari-ceng-beng-festival-ching-ming/
https://www.facebook.com/tionghoainfo/


.

   
            
SEDEKAH Membuat hati senang, tenang dan rejeki lancar.
Maka bersekahlah.

Mari kita menggalang dan membantu:

] YAYASAN METTA KARUNA ]
Jln. Perintis, K.M 9, Dsn. XV, Simpang Empat, Kec. Simpang
Empat, Kab. Asahan, Prov. SumateraUtara, INDONESIA.
Sekretariat : Jln. PERINTIS No.120, Dsn. XIX, Simpang Empat -21271, Kec. Simpang
Empat, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Bahwa diagnosa dan sakit apapun bisa sembuh karena Tuhan Yang Maha Esa memang menghendakinya, "Obatilah orang yang sakit dengan sedekah." 
Pelimpahan Jasa untuk keluarga yang telah meninggal juga bisa terbantu dalam Berdana.

Jangan takut besedekah, takkan berkurang hartamu bila sering bersedekah…!

Salurkan Amal Kebajikan Zakat, Infaq, Hibbah Warisan Harta/Benda, dan Sedekah (Sodaqoh/Dana) Anda dengan Rela dan Ikhlas. 
Dana dapat di Salurkan/ Transfer ke Rekening: 
BANK CENTRAL ASIA ( B C A ) KCP Tanjung Balai a/n DJON No.Rek: 052 100 5300, atau
BANK SUMUT KC Kisaran a/n Vihara Metta Karuna No.Rek: 260.02.03.002692-9. 

Bagi umat yang ingin turut berpartisispasi dalam proses pembangunan dapat menghubungi Panitia Pembangunan, Contact Person, Konfirmasi Dana dan Informasi : 

 

# – UP. Djon    Hp: +62 853 6153 6598,  Hp: +62 852 6013 5090, Pin BB:5D2B8D12 . 


Jangan segan untuk mengulurkan tangan anda, tetapi jangan juga segan untuk menjabat tangan orang lain yang datang pada Anda.

Kami mengucapkan Banyak Terima Kasih kepada para Dermawan, para Donatur, serta para Simpatisan Atas dukungan dan kepercayaan yang telah diberikan dalam Kebersamaan turut Partisipasi dan Peduli Membantu Mensukseskan Program² YAYASAN METTA KARUNA.


_/l\_   Ǻηύσđªņă   _/l\_

“Sαββε Sᆆα βђαvαπ†u Sukђi†α††α”
สัพเพ สัต ตา ภะ วัน ตุ สุขิตัต ตา
“Semoga semua makhluk berbahagia.”

สาธุ, สาธุ, สาธุ... ! ڪȃԃħǜ..., ڪȃԃħǜ..., ڪȃԃħǜ… !


http://djonliem.blogspot.com/2016/03/cheng-beng-ziarah-kubur-dan-perwujudan.html
.